FIQIH
QURBAN
Berqurban
merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika
putra-putra nabi Adam as. diperintahkan berqurban. Maka Allah Swt. menerima
qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah
Swt berfirman:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceriterakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa" (QS Al-Maa-idah 27).
Qurban
lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim as., saat
beliau diperintahkan Allah Swt. untuk mengurbankan anaknya, Ismail as..
Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar". Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah Saw. sebagai
bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada Allah Swt. sebagai rasa
syukur atas ni’mat kehidupan.
Disyariatkannya
qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah Swt., bentuk ketaatan
kepada-Nya dan rasa syukur atas ni’mat kehidupan yang diberikan Allah Swt.
kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban
yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bahwa
penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik
terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan
fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas ni’mat Allah Swt. kepada manusia, dan
inilah bentuk pengungkapan ni’mat yang dianjurkan dalam Islam: “Dan terhadap
ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS
Ad-Dhuhaa 11). Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari
Allah Swt.. Allah menciptakan binatang ternak itu adalah ni’mat yang
diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih
binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt.
Berqurban
merupakan ibadah yang paling dicintai Allah Swt. di hari Nahr, sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi Saw.
bersabda:” Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah
melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang dihari Kiamat
dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di
suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa
dengan berqurban”.
Kata
qurban yang kita fahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri,
sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana
pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai
udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang
disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari
‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih
di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan
syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Hukum
qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut madzhab Abu
Hanifah adalah wajib. Allah Swt. berfirman:
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ2
Artinya:”
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar 2).
Rasulullah
Saw. bersabda:
من كان له سعة
ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa
yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat
kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam
hadits lain:” Jika kalian melihat awal bulan Dzulhijjah, dan seseorang diantara
kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)”
(HR Muslim).
Bagi
seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia
sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat
Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak
mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Adapun
binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak
(Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang
selain itu seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban.
Allah Swt berfirman:” Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan
penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang
ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (QS Al-Hajj 34). Kambing
untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah Saw.
menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk
beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang,
baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah Saw.:
عن جابرٍ بن عبد
الله قال: نحرنا مع رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسَلَّم بالحُديبيةِ
البدنةَ عن سبعةٍ والبقرةَ عن سبعةٍ
Dari Jabir
bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah Saw. di tahun
Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Muslim).
Binatang
yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan tidak boleh
cacat. Rasulullah Saw. bersabda:” Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan
qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak
lagi “ (HR Bukhari dan Muslim). Hadits lain:” Janganlah kamu menyembelih
binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika
sukar didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari domba (HR
Muslim). Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua
tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan
berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah saw. berqurban
dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih
gemuk.
Orang yang
berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah,
kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah
ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian
apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang
yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36). Hadits Rasulullah Saw.:” Jika
diantara kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad). Bahkan
dalam hal pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya
dan keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya
untuk fakir miskin dan orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits dari
Ibnu Abbas menerangkan qurban Rasulullah Saw.bersabda: “Sepertiga untuk memberi
makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin dan
sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta” (HR Abu Musa
Al-Asfahani). Tetapi orang yang berkurban karena nadzar, maka menurut madzhab
Hanafi dan Syafi’i, orang tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun
dan tidak boleh memanfaatkannya.
Waktu
penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya
‘Iedul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah melaksanakan shalat ‘Iedul Adha
bagi yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Iedul
Adha seperti jama’ah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr.
Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki
dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu hari
raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya matahari.
Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar ra., Ali ra. Abu Hurairah ra., Anas
ra., Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra. menghabarkan bahwa hari-hari penyembelihan
adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin hasil
ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah Saw. (Mughni
Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan
madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya ‘Idul Adha dan 3
Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari.
Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah Saw.
:”Semua hari Tasyrik adalah hari penyembelihan” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para perawinya kuat”. Dengan adanya hadits
shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat madzhab Syafi’i.
Berqurban
sebagaimana definisi diatas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut
jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan
uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa ada
penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya penyembelihan
hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan menurut
jumhur ulama yaitu madzhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban
dengan menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan nilainya. Dan
jika berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak pada
hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang
berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain,
maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika
tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan penyembelihan
tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas ra:” Hadirlah ketika kalian
menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari mulai awal darah
keluar”.
Ketika
seorang muslim hendak menyembelih hewan qurban, maka bacalah: “Bismillahi
Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya), sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw.: “ Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban
dariku dan orang yang belum berqurban dari umatku” (HR Abu Dawud dan
At-Tirmidzi). Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah Saw. memerintahkan
pada Fatimah as. :”Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan qurbanmu,
karena sesungguhnya Allah mengampunimu setiap dosa yang dilakukan dari awal
tetesan darah qurban, dan katakanlah:” Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban)
ku, hidupku dan matiku lillahi rabbil ‘alamiin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang paling awal
berserah diri” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Qurban
dengan cara patungan, disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari:”
Seseorang di masa Rasulullah Saw. berqurban dengan satu kambing untuk dirinya
dan keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan
melakukan apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Berkata Ibnul
Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:” Diantara sunnah Rasulullah Saw. bahwa qurban
kambing boleh untuk seorang dan keluarganya walaupun jumlah mereka banyak
sebagaimana hadits Atha bin Yasar dari Abu Ayyub Al-Anshari. Disebutkan dalam
hadits Rasulullah saw.
عن أبي الأسود
السلمي، عن أبيه، عن جده قال: كنت سابع سبعة مع رسول الله -صلَّى
الله عليه وسلَّم- في سفره، فأدركنا الأضحى. فأمرنا رسول الله -صلَّى
الله عليه وسلم-، فجمع كل رجل منا درهما، فاشترينا أضحية بسبعة دراهم. وقلنا: يا
رسول الله، لقد غلينا بها. فقال: (إن أفضل الضحايا أغلاها، وأسمنها) قال: ثم أمرنا
رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-، فأخذ رجل برِجل، ورجل برِجل، ورجل بيد، ورجل
بيد، ورجل بقرن، ورجل بقرن، وذبح السابع، وكبروا عليها جميعا.
Dari Abul
Aswad As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: Saat itu kami bertujuh
bersama Rasulullah saw, dalam suatu safar, dan kami mendapati hari Raya ‘Idul
Adha. Maka Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap
orang satu dirham. Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami
berkata:” Wahai Rasulullah Saw. harganya mahal bagi kami”. Rasulullah Saw.
bersabda:” Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal
dan paling gemuk”. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan pada kami.
Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh
menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan Al-Hakim).
Dan berkata
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilamul Muaqi’in setelah mengemukakan hadits
tersebut:” Mereka diposisikan sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih
satu kambing bagi mereka. Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh karena itu
sebagai sebuah pembelajaran dapat saja beberapa orang membeli seekor kambing
kemudian disembelih. Sebagaimana anak-anak sekolah dengan dikordinir oleh
sekolahnya membeli hewan qurban kambing atau sapi kemudian diqurbankan. Dalam
hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas, datang pada Rasulullah
saw. seorang lelaki dan berkata:” Saya berkewajiban qurban unta, sedang saya
dalam keadaan sulit dan tidak mampu membelinya”. Maka Rasulullah saw.
memerintahkan untuk membeli tujuh ekor kambing kemudian disembelih”.
Orang yang
berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan hewan
qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya
manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati
haram, sesuai dengan hadits:” Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia
tidak berqurban” (HR Hakim dan Baihaqi). Kecuali dihadiahkan kepada
fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan. Menurut madzhab Hanafi kulit
hewan qurban boleh dijual dan uangnnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut
dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.
Sesuatu
yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan
qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali ra.:” Rasulullah Saw. memerintahkanku
untuk menjadi panitia qurban ( unta ) dan membagikan kulit dan dagingnya. Dan
memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal sedikitpun”. Ali
berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).
Berqurban
atas nama orang yang meninggal jika orang yang meninggal tersebut berwasiat
atau wakaf, maka para ulama sepakat membolehkan. Jika dalam bentuk nadzar, maka
ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi jika tanpa wasiat dan
keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri, maka menurut jumhur ulama
seperti madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya. Sesuai dengan apa
yang dilakukan Rasulullah Saw., beliau menyembelih dua kambing yang pertama
untuk dirinya dan yang kedua untuk orang yang belum berqurban dari umatnya.
Orang yang belum berqurban berarti yang masih hidup dan yang sudah mati.
Sedangkan madzhab Syafi’i tidak membolehkannya. Anehnya, mayoritas umat Islam
di Indonesia mengikuti pendapat jumhur ulama, padahal mereka mengaku pengikut
madzhab Syafi’i.
Amal yang
terkait dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat bagian. Pertama,
hadyu kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan diatas; ketiga, aqiqah; keempat,
penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang disembelih di Tanah
Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji Tamattu dan Qiran, atau
meninggalkan diantara kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, baik
dalam haji atau umrah, atau hanya sekedar pendekatan diri kepada Allah swt.
sebagai ibadah sunnah. Aqiqah adalah kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran
anak pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang
lahir lelaki disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan
selain bentuk ibadah diatas, masuk kedalam penyembelihan biasa untuk dimakan,
disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan akad nikah.
Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing. Seorang yang sukses
dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih binatang sebagai rasa
syukur kepada Allah Swt. dll. Jika terjadi penyembelihan binatang ternak
dikaitkan dengan waktu tertentu, upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka
dapat digolongkan pada hal yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi dibeberapa
daerah. Apalagi jika penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau tuhan selain
Allah maka ini adalah jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.
Sesuatu
yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah),
qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan
dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan
pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan maupun
yang disunnahkan. Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman (dalam
hadits Qudsi):” Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan
perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub)
dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan. Dan
jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka
Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya
dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat, tangannya dimana
ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku beri
dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban
(udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan
mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak.
Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Sedangkan
berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban dengan
harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana dimana
umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan mereka banyak yang
menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran berarti bagi umat
Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi Allah Swt. dan
menjauhi ajaran-Nya ? Yang pasti, musibah ini harus lebih mendekatkan umat
Islam kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut untuk
memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan bantuan kepada
mereka yang terkena musibah. Dan diantara bentuk pendekatan diri kepada Allah
dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban penyembelihan sapi dan
kambing pada hari Raya ‘Iedul Adha dan Hari Tasyrik. Semoga Allah menerima
qurban kita dan meringankan musibah ini, dan yang lebih penting lagi
menyelamatkan kita dari api neraka.
A K I K A H
Akikah (bahasa
Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah) yang berarti memutus dan
melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang
disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga
bahwa akikah merupakan rambut yang dibawa si bayi
ketika lahir.[rujukan?]
Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi
yang dilahirkan.[1]
Hukum akikah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah
muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama,
berdasarkan anjuran Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam dan praktik langsung beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam.
“Bersama anak laki-laki ada akikah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah
(sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR:
Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataannya "Shallallaahu alaihi wa Sallam",
yang artinya: “maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah
perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari
kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan
bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan
sanad yang hasan).
Perkataan beliau Shallallaahu
alaihi wa Sallam, yang artinya: “ingin menyembelihkan,..”
merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi
sunah.
Definisi Akikah
Akikah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh
kelahiran seseorang anak. Menurut bahasa, akikah berarti pemotongan[rujukan?]. Hukumnya sunah muakkadah bagi mereka
yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: “Seorang anak yang baru lahir tergadaikan oleh akikahnya. Maka
disembelihkan kambing untuknya pada hari ke tujuh, dicukur rambutnya dan diberi
nama”. (HR. Ashabussunah) Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz
Al Ka’biyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang akikah. Beliau
bersabda, “Bagi anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan bagi anak
perempuan disembelihkan satu ekor. Dan tidak akan membahayakan kamu sekalian,
apakah (sembelihan itu) jantan atau betina.
Hikmah Akikah
Akikah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab
Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki
beberapa hikmah di antaranya[2]:
- Menghidupkan sunah Nabi Muhammad Shallallahu alahi wa sallam dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail alaihissalam.
- Dalam akikah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadis, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan akikahnya.” [3]. Sehingga Anak yang telah ditunaikan akikahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah "bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh akikahnya".
- Akikah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan: "Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan akikahnya)".
- Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lahirnya sang anak.
- Akikah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.
- Akikah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara masyarakat.
Menurut Drs. Zaki Ahmad dalam bukunya "Kiat Membina
Anak Sholeh" disebutkan manfaat-manfaat yang akan didapat dengan beraqiqah,
di antaranya[4]:
- Membebaskan anak dari ketergadaian
- Pembelaan orang tua di hari kemudian
- Menghindarkan anak dari musibah dan kehancuran, sebagaimana pengorbanan Nabi Ismail AS dan Ibrahim AS
- Pembayaran hutang orang tua kepada anaknya
- Pengungkapan rasa gembira demi tegaknya Islam dan keluarnya keturunan yang di kemudian hari akan memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW
- Memperkuat tali silahturahmi di antara anggota masyarakat dalam menyambut kedatangan anak yang baru lahir
- Sumber jaminan sosial dan menghapus kemiskinan di masyarakat
- Melepaskan bayi dari godaan setan dalam urusan dunia dan akhirat.
Syarat Akikah
Hewan dari jenis kibsy (domba putih) nan sehat umur
minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal satu tahun. Untuk anak
laki-laki dua ekor, dan untuk anak perempuan satu ekor
Hewan Sembelihan
Hewan yang dibolehkan disembelih untuk akikah adalah sama
seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk kurban,
dari sisi usia dan kriteria[5].
Imam Malik berkata: Akikah itu
seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji)
dan udhhiyah (kurban),
tidak boleh dalam akikah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi'iy
berkata: Dan harus dihindari dalam hewan akikah ini cacat-cacat yang tidak
diperbolehkan dalam qurban.
Ibnu Abdul Barr berkata: Para ulama telah ijma
bahwa di dalam akikah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di
dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba,
sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.
Namun di dalam akikah tidak diperbolehkan berserikat
(patungan, urunan) sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau
sapi atau unta. Sehingga bila seseorang akikah dengan sapi
atau unta,
itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.
Kadar Jumlah Hewan
Kadar aqiqah
yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan,
sebagaimana perkataan Ibnu Abbas rahimahulloh: “Sesungguh-nya Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam mengaqiqahi Hasan
dan Husain satu domba satu domba.”
(Hadis shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud)
Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama
adalah mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadis-hadis
berikut ini[6]:
- Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya: “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan agar dsembelihkan akikah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadis sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
- Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya: “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar disembelihkan akikah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.” (Shahih riwayat At Tirmidzi)
Dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki
adalah berlipat dari dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki
adalah dua kali lipat wanita dalam banyak hal.
Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan akikah disunnahkan pada hari yang ketujuh
dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam,
yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan akikahnya, disembelih
darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad
dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh,
maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada
hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu Buraidah
dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih
pada hari ketujuh, keempatbelas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al
Baihaqiy)
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan
saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke
tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunah dan paling
utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh[7].
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh
disunnahkan juga untuk disembelihkan akikahnya, bahkan meskipun bayi yang
keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.
Akikah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi.
Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan akikah oleh orang tuanya
hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih akikah dari dirinya sendiri, Syaikh
Shalih Al Fauzan berkata: Dan bila tidak diakikahi oleh ayahnya
kemudian dia mengaqiqahi dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa. wallahu
‘Alam.
Pembagian daging akikah
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa
memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi.
Syaikh Utsaimin berkata: Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan
mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan dari kambing aqiqah
yang sudah matang. Syaikh Jibrin berkata: Sunahnya dia memakan sepertiganya,
menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan
sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan
kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya. Syaikh Ibnu Bazz
berkata: Dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau
sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas
diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang
faqir untuk menyantapnya, dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang
terhimpun di dalam Al lajnah Ad Daimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar